Jakarta, CNBC Indonesia – Dana investor asing (foreign fund) keluar dari pasar saham dan obligasi China akhir-akhir ini. Hal tersebut membuat pengaruh pasar China terhadap pasar global berkurang.
Mengutip Bloomberg News, Sabtu (16/9/2023), kepemilikan asing atas ekuitas dan utang negara China telah turun sekitar 1,37 triliun yuan (US$188 miliar atau setara dengan Rp2.887 triliun).
Angka itu lebih rendah 17%, dari level puncaknya pada periode Desember 2021 hingga akhir Juni tahun ini. Ini sebelum pasar saham dalam negeri China mengalami rekor arus keluar sebesar US$12 miliar (Rp184,26 miliar) pada bulan Agustus saja.
Eksodus asing ini bertepatan dengan loyonya ekonomi China akibat pembatasan selama bertahun-tahun akibat pandemi Covid, krisis pasar properti, dan ketegangan yang terus-menerus dengan negara-negara Barat.
Partisipasi dana asing di pasar saham Hong Kong telah turun lebih dari sepertiganya sejak akhir 2020.
“Asing baru saja menyerah,” kata Zhikai Chen, kepala ekuitas pasar berkembang Asia dan global di BNP Paribas Asset Management kepada Bloomberg News.
Chen bilang ada kekhawatiran terhadap pasar properti dan perlambatan belanja konsumen. “Kekecewaan dalam hal ini telah menyebabkan banyak investor asing mempertimbangkan kembali investasi mereka,” imbuh Chen.
Meskipun kelemahan China pernah dianggap berdampak buruk negara-negara lain, khususnya kelompok negara berkembang, tetapi hal tersebut tidak terjadi pada tahun ini.
Anjlok sekitar 7% pada 2023, Indeks MSCI China mengalami kerugian selama tiga tahun berturut-turut yang akan menandai penurunan beruntun terpanjang dalam lebih dari dua dasawarsa terakhir.
Berbeda, Indeks Pasar Berkembang MSCI (MSCI Emerging Markets) naik 3% seiring investor mengejar keuntungan di negara lain, seperti India dan sebagian Amerika Latin.
Perbedaan ini terjadi ketika upaya China untuk mencapai swasembada di seluruh rantai pasokan dan memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat (AS) telah membuat negara-negara lain tidak terlalu rentan terhadap pasang surut ekonomi Negeri Tirai Bambu.
Selain keterpisahan ekonomi, alasan lainnya adalah ledakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), yang telah meramaikan pasar saham dari Amerika hingga Taiwan, tetapi kurang memberi dorongan pada saham-saham di China daratan.
Seiring dengan itu, bobot saham China dalam indeks negara berkembang telah turun menjadi sekitar 27% dari sebelumnya lebih dari 30% pada akhir 2021.
“Risiko China ada beberapa – LGFV [kendaraan pembiayaan pemerintah daerah], kelebihan stok perumahan, demografi, rasio ketergantungan, volatilitas peraturan, isolasi geopolitik,” kata Gaurav Pantankar, kepala investasi di MercedCERA, yang mengawasi aset sekitar US$1,1 miliar di AS.
Aksi Jual Asing di Pasar Obligasi
Di pasar utang, investor global telah menarik sekitar US$26 miliar dari obligasi pemerintah China pada 2023, dan secara kolektif menanamkan US$62 miliar ke obligasi negara-negara berkembang di Asia, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.
Sekitar setengah dari aliran masuk senilai US$250 miliar-US$300 miliar yang menyertai masuknya China ke dalam indeks obligasi pemerintah sejak 2019 telah terhapus, menurut analisis JPMorgan Chase & Co.
Tekanan jual pada yuan telah mendorong mata uang tersebut ke level terendah dalam 16 tahun terhadap dolar AS.
Sikap kebijakan bank sentral China (PBOC) yang longgar, berbeda dengan pengetatan di sebagian besar negara besar, melemahkan yuan dan memberikan alasan lain bagi orang asing untuk menghindari aset-aset negara itu.
Dalam hal kinerja utang korporasi, China tampaknya telah benar-benar terpisah (decoupling) dari negara-negara Asia lainnya seiring dengan memasuki tahun keempat krisis di sektor real estate di China.
Pasar ini kini lebih dikuasai secara lokal dengan sekitar 85-90% sahamnya dimiliki oleh investor dalam negeri.
Semua ini terjadi di tengah memburuknya perekonomian China, yang menyebabkan perlunya memikirkan kembali daya tarik pasar sebagai tujuan investasi. Bank-bank Wall Street termasuk Citigroup Inc. dan JPMorgan ragu apakah target pertumbuhan 5% Beijing untuk tahun ini dapat dipenuhi.
Peran Penting China
Namun, besarnya perekonomian China dan peran utamanya dalam rantai pasokan manufaktur membuat pasar tersebut akan tetap menjadi bagian penting dari portofolio bagi banyak investor, meskipun pada tingkat yang lebih rendah.
Salah satu sektor di mana China masih dapat memberikan pengaruh pada pasar keuangan internasional adalah melalui komoditas yang diperdagangkan secara global.
Sebagai importir terbesar energi, logam dan makanan, pengaruh China melampaui portofolio efek, sehingga menciptakan ikatan dengan perekonomian global yang kemungkinan akan terbukti lebih tahan lama.
Posisi negara ini sebagai pemimpin dunia dalam bidang energi ramah lingkungan, mulai dari panel surya hingga kendaraan listrik, merupakan salah satu contoh perluasan potensi perdagangan seiring upaya dunia untuk memenuhi kewajibannya terhadap iklim.
“Perekonomian yang melambat tidak terjadi di semua tempat,” kata Karine Hirn, partner di East Capital Asset Management.
“Kami menemukan valuasi bagus di sektor-sektor dengan prospek pertumbuhan struktural, seperti kendaraan energi baru, sektor yang berhubungan dengan konsumen, dan bagian dari rantai pasokan energi terbarukan.”
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(trp/trp)
[Gambas:Video CNBC]