- Belakangan ini guncangan dari ekonomi China membuat pasar internasional mengalami kepanikan.
- China dinilai telah kehilangan momentum pertumbuhan ekonominya.
- Kali ini data ekspor-impor kembali lesu. Lantas bagaimana dampaknya ke Indonesia?
Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonomi China tak henti-hentinya menjadi sorotan. Wajar, belakangan China dinilai telah kehilangan momentum pertumbuhan ekonominya. Setelah data aktivitas bisnis, kali ini data ekspor-impor yang menjadi sorotan pasalnya tren penurunan terus terjadi.
Ekspor dan impor China terus mengalami penurunan di bulan Agustus karena dua tekanan yakni karena menurunnya permintaan luar negeri dan lemahnya belanja konsumen di dalam negeri yang menekan dunia usaha di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut, meskipun penurunan tersebut lebih lambat dari perkiraan.
Meskipun angka-angka perdagangan tersebut mengikuti serangkaian indikator lain yang menunjukkan kemungkinan stabilisasi dalam pelemahan perekonomian China, angka-angka tersebut masih jauh dari pertumbuhan yang diantisipasi para ekonom pada awal tahun ini ketika pemerintah mengabaikan pembatasan ketat terkait Covid-19.
Data bea cukai menunjukkan pada Kamis (7/9/2023), ekspor dilaporkan turun 8,8% pada bulan Agustus secara year-on-year (yoy), angka ini mengalahkan perkiraan sebesar 9,2% dalam jajak pendapat Reuters dan turun dari penurunan 14,5% pada Juli.
Sementara itu, impor mengalami kontraksi sebesar 7,3%, lebih lambat dari perkiraan penurunan sebesar 9,0% dan penurunan bulan lalu sebesar 12,4%.
“Data perdagangan sedikit lebih baik, namun menurut saya kita tidak perlu terlalu memikirkan hal tersebut: perdagangan masih mengalami kontraksi,” kata Frederic Neumann, kepala ekonom Asia di HSBC yang dikutip dari Reuters.
“Ada sedikit tanda stabilisasi di sini, tapi saya pikir jalan masih panjang,” tambahnya.
Beijing telah mengumumkan serangkaian langkah dalam beberapa bulan terakhir untuk menopang pertumbuhan, dengan pelonggaran beberapa aturan pinjaman pada minggu lalu oleh bank sentral dan regulator keuangan utama untuk membantu pembeli rumah.
Perekonomian Negeri Tirai Bambu ini berisiko kehilangan target pertumbuhan tahunan sebesar 5% karena para pejabat bergulat dengan memburuknya kemerosotan properti, lemahnya belanja konsumen dan jatuhnya pertumbuhan kredit, yang menyebabkan para analis menurunkan perkiraan untuk tahun ini.
Laporan pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2023 dari Biro Pusat Statistik China menunjukkan ekonomi China hanya bertumbuh 0,8% pada April-Juni 2023 dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China sebesar 6,3%.
Data ini menunjukkan performa ekonomi China belum benar-benar pulih dari masa pandemi Covid-19. Pada periode 2010-2019, rata-rata pertumbuhan ekonomi China berada di atas 7%, meski memang sejak tahun 2012 menunjukkan tren penurunan dan tidak pernah kembali pada pertumbuhan double digit seperti pada dekade sebelumnya.
Dampak Lesunya Ekspor China Terhadap Indonesia
Masih terkoreksinya ekspor menandai jika permintaan dari global belum pulih. Kontraksi pada impor mencerminkan permintaan dalam negeri China yang masih rendah. Pelemahan ekspor impor membuat target pertumbuhan China sebesar 5% akan sangat sulit dicapai.
Bagi Indonesia, terkontraksinya impor China adalah warning. China adalah tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia dengan kontribusi sekitar 24-25% sehingga perkembangan di Tiongkok akan sangat mempengaruhi Indonesia.
Jika impor China kembali terkontraksi maka hal tersebut harus menjadi warning bagi permintaan Tiongkok untuk produk Indonesia. Sejumlah indikator menunjukkan perdagangan China masih akan lesu. Di antaranya adalah turunnya pengiriman barang dari Korea Selatan dan Jepang. Ekonomi Eropa juga memburuk yang bisa mengancam ekspor China ke depan.
Bila kondisi memburuk maka ekspor RI ke China pun bisa turun lebih tajam.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas RI ke China pada Januari-Juli 223 mencapai US$ 34,86 miliar atau tumbuh 6%. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Januari-Juli 2022 sebesar 30%.
Ekspor ke China
|
Hubungan bermitra antara China dan Indonesia semakin erat dalam dua dekade terakhir, yang artinya apabila terjadi guncangan di satu pihak akan turut menggoyang pihak lainnya.
Pada 2022, Indonesia menjadi negara ASEAN dengan nilai ekspor paling besar ke China. Angkanya mencapai US$ 65,9 miliar. Angka ini tumbuh sebesar 22,6% yoy jika dibandingkan tahun 2021.
Sementara itu, dari sisi impor di tahun 2022 Indonesia merupakan negara ASEAN dengan nilai impor dari China tertinggi kedua setelah Thailand yakni sebesar US$ 67,7 miliar atau naik 20,5% yoy jika dibandingkan tahun 2021.
Sejak tahun 2013 neraca Perdagangan Indonesia dengan China memang mengalami defisit yang artinya nilai impor lebih besar daripada ekspor. Meskipun begitu, terdapat perbaikan defisit neraca dagang Indonesia-China khususnya dari periode 2020 hingga 2022.
Pada 2020, defisit neraca dagang Indonesia-China sebesar US$ 7,85 miliar lalu berkurang menjadi US$ 2,44 miliar pada 2021 dan pada 2022 kembali berkurang menjadi US$ 1,88 miliar.
Di sisi lain, data Kementerian Perdagangan mencatat bahwa pada periode Januari-Maret 2023, Indonesia mencatatkan surplus neraca perdagangan dengan China yakni sebesar US$ 1,24 miliar. Hal ini berkebalikan dengan periode yang sama pada 2022 yang mengalami defisit sebesar US$ 2,82 miliar.
Produk ekspor non-migas utama Indonesia ke China didominasi oleh bahan bakar mineral sebesar US$ 4,5 miliar, lalu diikuti oleh besi dan baja sebesar US$ 4,4 miliar. Bahan bakar mineral memiliki porsi terbesar dengan 27,05% sedangkan besi dan baja menyusul dengan 26,42%.
Sementara, produk impor non migas utama Indonesia dari China mayoritas yakni mesin/peralatan listrik sebesar US$ 3,7 miliar, lalu disusul oleh mesin mekanik sebesar US$ 3,3 miliar. Porsi terbesar ditempati mesin/peralatan listrik dengan 24,04% dan mesin mekanik sebesar 21,24%.
Maka tertekannya ekspor-impor China ini perlu diantisipasi oleh pemerintah agar lonjakan defisit neraca dagang dapat dihindari. Kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya sehat meningkatkan risiko krisis akibat guncangan dari eksternal.
Kita tentu berharap bahwa perlambatan ekonomi di China tidak berdampak parah ke Indonesia.dan pemerintah perlu mencari berbagai alternatif pertumbuhan selain melalui perdagangan dan investasi dari China. Pemerintah juga perlu menjaga pendapatan masyarakat agar tingkat konsumsi terjaga.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]