Jakarta (ANTARA) – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berharap pendekatan persuasif dan humamis dilakukan untuk menangani kasus warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
“Seharusnya proyek besar seperti Rempang Eco City itu dipersiapkan dengan matang dan menggunakan pendekatan yang humanis serta mengutamakan dialog partisipasi masyarakat setempat,” kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Dia menyatakan LPSK prihatin atas peristiwa bentrokan yang pecah di Pulau Rempang dan di depan Kantor BP Batam, akibat penolakan warga terkait rencana pembangunan Rempang Eco City.
LPSK berharap proses hukum yang berjalan mengacu pada prinsip-prinsip fair trial, di mana hak perlindungan hukum terhadap orang yang dilakukan penangkapan atau penahanan tetap dijamin.
“Tidak boleh dilakukan penahanan yang sengaja untuk menghalangi atau membatasi akses tahanan dengan dunia luar (keluarga atau penasihat hukumnya) atau lazim disebut penahanan incommunicado,” katanya.
Dia menjelaskan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang tentang konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia.
“Tindakan aparatur negara di tempat penahanan seringkali tidak terkontrol sehingga menimbulkan peristiwa yang masuk dalam kategori penyiksaan,” ujarnya.
Dia mengatakan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, khususnya pada Pasal 6 ayat (1), memandatkan LPSK untuk memberikan perlindungan bagi korban penyiksaan.
Dia berharap penegak hukum yang saat ini bertugas berpedoman pada proses peradilan yang adil sesuai prosedur dan memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
“Pendekatan persuasif penting diterapkan dalam penyelesaian kasus Rempang, jika nantinya kasus tersebut tetap berproses dalam lingkup penegakan hukum pidana, perlu dipertimbangkan penyelesaian melalui pendekatan restorative justice,” pesannya.
Nasution menyatakan LPSK mempersilakan saksi atau korban atau pihak terkait lainnya mengajukan perlindungan kepada LPSK, jika membutuhkan perlindungan, dan LPSK akan memprosesnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Baca juga: PBNU: Kasus di Rempang sejatinya dapat diselesaikan lewat musyawarah
Baca juga: Dirjen HAM: Kasus Rempang harus utamakan dialog dengan masyarakat
Konflik agraria di Rempang telah memicu bentrokan pada 7 September dan waktu setelahnya. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turun tangan menyikapi situasi di pulau dekat Batam itu.
Berdasarkan keterangan pers yang diakses detikcom dari situs resmi Komnas HAM, Rabu (12/9/2023), Komnas HAM telah menyikapi konflik di Rempang sehari sejak peristiwa kerusuhan 7 September itu terjadi. Pernyataan tertulis Komnas HAM disampaikan Ketua Atnike Nova Sigiro.
Berikut adalah pernyataan sikap Komnas HAM:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Atas peristiwa bentrok yang terjadi, Komnas HAM menyatakan hal-hal sebagai berikut: a. Menyesalkan terjadinya bentrok antara aparat dengan warga setempat yang menumbulkan korban baik anak-anak maupun orang dewasa; b. Mendesak penghentian pengerahan pasukan dan tindakan represif kepada masyarakat dan mengedepankan dialog; c. Meminta pembebasan terhadap warga yang ditahan; d. Meminta pemerintah daerah melakukan pemulihan bagi masyarakat yang mengalami kekerasan dan trauma, termasuk anak-anak yang memerlukan pemulihan khusus; e. Meminta agar pemerintah pusat maupun daerah serta aparat penegak hukum menerapkan pendekatan humanis dalam penyelesaian sengketa agraria, termasuk dalam proyeksi strategis nasional.
Komnas HAM menyebut peristiwa di Pulau Rempang sebagai tragedi konflik lahan yang berujung pada kekerasan. Menurut penjelasan Komnas HAM, kasus ini bermula dari adanya rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Galang, dan Galang Baru dalam pengembangan investasi Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi. Proyek dikerjakan PT Makmur Elok Graha (MEG) ditargetkan bisa menarik investasi dengan lahan 7.572 hektare atau 45,89 persen total luas Pulau Rempang seluas 16.500 hektare.
“Kemudian akan dilakukan relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru yang diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa,” kata Atnike.
Bentrok warga tim terpadu Batam di Pulau Rempang. (Istimewa)
Lantas pada 7 September lalu, terjadi demonstrasi masyarakat yang berujung bentrok dengan aparat. Komnas HAM menyebut terdapat korban di masyarakat termasuk perempuan dan anak-anak.
Komnas HAM mengaku telah menerima surat pengaduan dari ketua Koordinator Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) sejak 2 Juni 2023 lalu, perihal permohonan legalitas lahan masyarakat kampung-kampung di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru. Komnas HAM turun tangan dengan mengusahakan mediasi.
“Komnas HAM sedang menangani kasus tersebut melalui mekanisme mediasi HAM. Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada pihak terkait untuk permintaan klarifikasi dan mediasi, di antaranya Wali Kota Batam, Kepala Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), Kapolda Kepulauan Riau, dan Kantor Kepala Pertanahan Kota Batam,” kata Atnike.
Sejumlah petugas yang tergabung dalam Tim Terpadu membersihkan pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Jumat (8/9/2023). Aksi pemblokiran jalan tersebut terkait pengembangan Pulau Rempang menjadi kawasan ekonomi baru dan rencana pemerintah yang akan merelokasi mereka ke wilayah lain. ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/nz Foto: ANTARA FOTO/Teguh Prihatna
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md, menyatakan warga telah sepakat direlokasi sebelum bentrokan 7 September terjadi. Kesepakatannya, warga bersedia pindah dengan ganti rugi tanah 500 meter psersegi, dibangunkan rumah tipe 45, dan uang Rp 120 juta per kepala keluarga.
“Besar lho itu (ganti ruginya), daerah terluar. Lalu diberi uang tunggu sebelum relokasi, setiap kepala Rp 1.034.000, diberi uang sewa rumah sambil menunggu dapat rumah yang itu, masing-masing Rp 1 juta. Nah semuanya sudah disepakati, rakyatnya sudah setuju dalam pertemuan tanggal 6 itu, yang hadir di situ rakyatnya sekitar 80% sudah setuju semua,” kata Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (11/9) kemarin.
Mahfud meminta Polri berhati-hati menangani persoalan di Rempang. Demonstrasi perlu dihadapi dengan cara-cara yang manusiawi. Sebelumnya, dilansir detikSumut, Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Tabana Bangun, menyatakan aparat sudah baik dalam menangani kondisi.
“Saya kira untuk tindakan aparat dalam mengelola pengamanan tadi sungguh sangat humanis,” kata Irjen Tabana, Kamis (7/9) lalu.
Siswa SMP di Rempang, Batam, pingsan dievakuasi akibat terkena gas air mata. (Istimewa)
Jumat (8/9) lalu, Karo Penmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan klaim tak ada korban jiwa dalam masalah yang terjadi antara aparat keamanan dan warga di Rempang, Batam. Ramadhan juga membantah adanya informasi siswa pingsan saat kejadian itu. Dia juga menyebut itu bukan bentrok tapi tindakan pengamanan.
Ramadhan mengatakan bentrokan petugas dengan warga itu tak memakan korban. “Jadi tidak ada korban, saya ulang tidak ada korban dalam peristiwa kemarin,” kata Ramadhan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (8/9) lalu.
Bentrokan sudah terjadi lagi pada (Selasa 11/9) kemarin. Polisi mengatakan sudah ada 27 orang yang diamankan polisi terkait bentrokan di Pulau Rempang.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md meminta Polri berhati-hati menangani persoalan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau (Kepri). Mahfud meminta penanganan persoalan itu ditangani dengan humanis.
“Ya kita tetap, secara hukum, minta kepada aparat penegak hukum untuk menangani masalah kerumunan orang itu atau aksi unjuk rasa, atau yang menghalang-halangi eksekusi hak atas hukum itu, supaya ditangani dengan baik dan penuh kemanusiaan. Itu sudah ada standarnya, itu masalah tindakan pemerintah dan tindakan aparat supaya Polri hati-hati,” kata Mahfud Md usai menghadiri acara Konsolidasi Kebangsaan LPOI di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (8/9/2023).
Mahfud mengatakan surat keputusan (SK) terkait hak guna usaha tanah Pulau Rempang itu sudah dikeluarkan sejak 2001. Menurutnya, ada kekeliruan yang dilakukan pemerintah yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tapi masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu bahwa tanah itu, Rempang itu, sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan, untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang, itu tahun 2001, 2002,” terang Mahfud.
“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok. Sehingga pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada tahun 2001, 2002 secara sah,” imbuh Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan kondisi saat investor masuk di 2022 lalu, di mana ternyata tanah yang didiamkan selama ini tersebut sudah ditempati pihak lain. Oleh sebab itu, Mahfud berpendapat kesalahan ada di pemerintah setempat dan KLHK.
“Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sutter-nya, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk,” jelas dia.
Dia mengatakan proses pengosongan tanah itulah yang menjadi sumber keributan hingga terjadi bentrokan. Dia menyebut sumber keributan dalam bentrokan itu bukan terkait hak guna tanah tersebut.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, kan, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi misalnya. Meskipun menurut hukum kan tidak boleh karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” ujar Mahfud.