Ini Kronologi Praktik Dokter Gadungan di Surabaya Versi PB IDI

Ini Kronologi Praktik Dokter Gadungan di Surabaya Versi PB IDI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjelaskan kronologi praktik dokter gadungan, seorang tamatan SMA atas nama S, di Surabaya bisa terjadi. “Sejak 2006 hingga 2008 lalu di Grobogan, Jawa Tengah, dia mengaku sebagai dokter, dengan semua syarat terpenuhi, dan sempat bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI), serta beberapa rumah sakit dan kemudian pindah,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PB IDI Dr Telogo Wismo dalam konferensi pers yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (14/9/2023). 


Telogo yang merupakan mantan ketua IDI Grobogan tersebut menambahkan, pihaknya mendapatkan panggilan telepon dari Kalimantan bahwa dokter gadungan tersebut telah menjadi dokter spesialis kandungan di sana. Dia mengungkapkan, panggilan tersebut berawal dari kecurigaan perawat yang mendampingi dokter gadungan tersebut saat hendak melakukan tindak operasi caesar kepada seorang pasien.


“Perawatnya ragu, kemudian menghubungi direktur rumah sakit, dan kemudian melaporkannya ke pihak berwajib. Sempat dihukum, tapi sekarang kembali lagi dengan kasus yang sama,” ujarnya.


Ketua IDI Kabupaten Bandung Dr Azis Asopari mengungkapkan, kasus dokter gadungan tersebut kembali mencuat setelah adanya laporan dari salah seorang anggota IDI Kabupaten Bandung yang identitasnya digunakan oleh dokter gadungan tersebut untuk melakukan praktik.


Azis mengatakan, awalnya dokter gadungan tersebut melakukan praktik di Surabaya, lalu dimutasi ke Blora, Jawa Tengah, karena dokter gadungan tersebut melakukan praktiknya di rumah sakit salah satu BUMN. Setelah diselidiki, sambungnya, ternyata dokter gadungan tersebut melakukan praktiknya di Blora tanpa sepengetahuan IDI Blora.


“Ternyata betul, izin praktik ada, namun menggunakan surat milik anggota kami dengan mengganti fotonya,” ucapnya.


Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi menekankan proses mekanisme kredensial merupakan hal yang harus dilakukan oleh seorang dokter sebelum dapat melakukan praktik.


“Seharusnya pada kontrak pertama, proses kredensial dari komite medik harus dilakukan untuk menentukan tenaga medis tadi apakah kompetensinya sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak,” katanya saat dikonfirmasi secara terpisah.


Selain itu, Nadia mengatakan, sebuah rumah sakit seharusnya memiliki peraturan tata kelola khusus (hospital by laws) serta menjalankan fungsinya dengan baik untuk mencegah praktik dokter gadungan terjadi kembali. Oleh karena itu, Nadia menyatakan, Kemenkes bersama sejumlah asosiasi rumah sakit dan Dinas Kesehatan akan terus melakukan pembinaan terhadap rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.

sumber : Antara

Viral Pandemi 2.0 Bakal Terjadi di 2023 hingga Picu Lockdown, IDI Bilang Gini

Viral Pandemi 2.0 Bakal Terjadi di 2023 hingga Picu Lockdown, IDI Bilang Gini


Jakarta

Warganet di media sosial Twitter baru-baru ini dihebohkan oleh postingan pandemi 2.0 alias pandemi kedua yang disebut bakal muncul di 2023. Dalam postingan viral itu, pandemi 2.0 disebut bakal memicu aturan lockdown serta wajib memakai masker dalam waktu sebulan hingga dua bulan.

“Pandemi 2.0 yang dijadwalkan tahun 2025, ternyata dimajukan, bukan di 2024, tetapi di 2023,” ujar cuitan tersebut.

Cuitan itu pun mendapat tanggapan dari Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Adib Khumaidi. Ia mengimbau masyarakat agar tidak terjerumus oleh informasi yang salah. Menurutnya, cuitan yang menyebut pandemi 2.0 bakal muncul di 2023 tidak memiliki dasar penelitian atau bukti ilmiah yang jelas.

“Kita tidak melihat satu dasar konteks misalnya ini ada informasi-informasi yang belum ada dasar-dasar ilmiah. Jadi kami ingin mengimbau masyarakat mencari referensi terkait dengan problematika kesehatan jadi referensi dari masyarakat kesehatan yang itu menjadi referensi utama, misalnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) atau dari perhimpunan dokter spesialis, itu ada informasi yang berasal yang kita dari lingkup global,” ucapnya saat ditemui di Jakarta Pusat, Kamis (7/9/2023).

dr Adib juga menegaskan informasi soal pandemi 2.0 itu bukan berasal dari anggota IDI. Menurutnya, informasi hanya opini pribadi semata.

“Bukan dari IDI, itu dari personal ya,” tandasnya.

Simak Video “Catatan dari WHO untuk Indonesia Terkait Transisi ke Endemi
[Gambas:Video 20detik]
(ath/naf)

Dokter Tifa Sebut Pandemi 2.0 Muncul Bulan Ini Sampai Picu Lockdown, Begini Tanggapan IDI

Dokter Tifa Sebut Pandemi 2.0 Muncul Bulan Ini Sampai Picu Lockdown, Begini Tanggapan IDI

Liputan6.com, Jakarta – Dokter Tifa Sebut Pandemi 2.0 Muncul dan Picu Lockdown, Begini Tanggapan IDI

Ahli Epidemiologi Molekuler, Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa, tengah menjadi perbincangan di dunia maya lantaran pernyataannya soal Pandemi 2.0.

Dalam kicauan di akun Twitter pribadinya, Dokter Tifa ‘memprediksi’ bahwa Pandemi 2.0 akan terjadi dalam waktu dekat dan lockdown pun akan dilakukan pada September ini.

“Pandemi 2.0 yang dijadwalkan tahun 2025, ternyata dimajukan, bukan di 2024, tetapi di 2023,” cuit Dokter Tifa pada Rabu 6 September 2023.

IDI Tanggapi Prediksi Dokter Tifa Pandemi 2.0

Cuitan Dokter Tifa soal Pandemi 2.0 dan lockdown di bulan ini sontak ramai jadi perbincangan dan mendapat tanggapan dari Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi.

Menurut Ketua IDI, masyarakat tak boleh percaya begitu saja pada informasi-informasi yang belum jelas pembuktian ilmiahnya.

“Saya kira dasar di dalam kita menyikapi terhadap problema kesehatan itu tentunya dasar yang berdasarkan evidence base. Kita tidak melihat satu dasar dalam konteks umpamanya informasi yang belum ada dasar-dasar ilmiah,” ujar Adib saat ditemui Health Liputan6.com di Jakarta Pusat pada Kamis 7 September 2023.

Adib pun mengimbau masyarakat untuk mencari informasi dari sumber yang terpercaya.

Jangan langsung percaya terhadap sesuatu yang belum jelas kebenarannya, termasuk lockdown September 2023 akibat Pandemi 2.0.

“Kami ingin mengimbau kepada masyarakat untuk mencari referensi terkait problematika kesehatan dari referensi utama. Artinya, kami dari dari Ikatan Dokter Indonesia atau himpunan dokter spesialis,” katanya.

Sementara, informasi dari Dokter Tifa tergolong dalam informasi personal.

“Kalau informasi personal yang belum ada frame ilmiahnya, kami tentunya tidak bisa menjadikan itu sebagai dasar,” katanya.