Suasana pembangunan Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (3/8/2023).
BALIKPAPAN, KOMPAS — Lingkungan yang semakin rusak rawan menjadi masalah dalam perkembangan sebuah kota. Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih kewenangan dan pelaksanaan tata ruang yang tidak berjalan baik. Untuk menghindari itu di Ibu Kota Nusantara, pemerintah berniat memperjelas dan memperkuat kewenangan khusus Otorita IKN dalam revisi UU No 3/2022.
Hal itu menjadi salah satu bahasan dalam Konsultasi Publik IV tentang Rancangan UU Perubahan UU No 3/2022 Tentang Ibu Kota Negara. Kegiatan itu diselenggarakan Otorita IKN dan Kementerian Perencanaan Pembangunan/Bappenas secara daring, Jumat (15/9/2023).
Selain dihadiri perwakilan pemerintah dan Otorita IKN, sedikitnya 300 peserta hadir. Mereka terdiri dari masyarakat dan pemerintah daerah hadir dalam pertemuan daring itu.
Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri mengatakan, untuk menghindari kerusakan lingkungan akibat pembangunan di ibu kota baru, pemerintah berencana memperjelas kewenangan khusus Otorita IKN. Salah satunya melalui penambahan tujuh pasal dalam Pasal 15 UU No 3/2022.
Tujuh pasal itu untuk memperkuat pengaturan mengenai tata ruang. Dalam naskah akademik Rancangan UU tentang Perubahan UU No 3/2022, tertulis penataan ruang di IKN belum terdapat penegasan bahwa penggunaan tanah di wilayah IKN harus sesuai dengan penataan ruang. Selain itu, belum diatur apabila penggunaan tanah tidak sesuai dengan penataan ruang.
”Tata ruang ini menjadi penting sebagai instrumen untuk pengendalian dan mencegah kerusakan lingkungan. Tanpa tata ruang, kita tidak bisa menjaga lingkungan dengan baik,” kata Myrna.
Baca juga: Revisi UU IKN Diharapkan Akomodasi Kepentingan Masyarakat
Suasana pembangunan di salah satu sudut Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (3/8/2023).
Perubahan UU IKN nantinya akan memperkuat kewenangan Otorita IKN dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui penataan ulang tanah wilayah melalui dua mekanisme.
Pertama, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, pengadaan tanah secara langsung, dan/atau relokasi ketika tanah tidak difungsikan sesuai dengan ketentuan penataan ruang IKN.
Kedua, konsolidasi tanah ketika sebuah kawasan tanah difungsikan sesuai dengan ketentuan penataan ruang IKN. Penataan ulang tanah tersebut dimaksudkan agar pemanfaatan tanah sesuai peruntukannya, sebagaimana ditentukan di dalam rencana tata ruang IKN.
Myrna mengatakan, hal ini ditambahkan untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif, efisien, dan berdampak baik bagi publik dan lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, adanya kewenangan khusus tersebut diharapkan tidak ada lagi persoalan tumpang tindih kewenangan dari kementerian dan lembaga lain.
Untuk itu, ketentuan Pasal 12 UU No 3/2022 diubah untuk memperkuat kewenangan khusus Otorita IKN. Kewenangan itu mencakup semua kewenangan atas urusan pemerintahan pusat dan urusan pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan absolut. Dalam naskah akademik, kewenangan khusus Otorita IKN itu akan diatur dalam peraturan pemerintah.
Adapun dalam melaksanakan kewenangan khusus itu, Otorita IKN menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara. Myrna mengatakan, pengubahan Pasal 12 itu dilakukan agar tak ada multitafsir dalam UU IKN
Hunian berimbang
Hunian berimbang juga menjadi salah satu pokok yang bakal dimasukkan dalam revisi UU IKN. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Otorita IKN Silvia Halim mengatakan, pelaksanaan hunian berimbang diproyeksikan dapat berkontribusi dalam percepatan pembangunan dan penyediaan rumah tinggal di ibu kota baru.
Namun, selama ini implementasi hunian berimbang yang ada di kabupaten dan kota dinilai masih terkendala, misalnya tanah yang dianggap strategis untuk rumah komersial harganya jauh lebih mahal. Akibatnya, tidak dimungkinkan untuk dibangun rumah sederhana dalam satu hamparan.
Selain itu, pengembang sebenarnya diperbolehkan untuk membangun hunian berimbang dalam satu wilayah kota atau kabupaten. Namun, masih banyak pengembang yang belum menjalankan kewajibannya. Alasannya, minimnya lahan dan ketidaksesuaian dengan peruntukan tata ruang.
Untuk menjawab hal tersebut, pemerintah memasukkan satu pasal di antara Pasal 36 dan Pasal 37, yakni yakni Pasal 36B untuk mengatur mengenai penyelenggaraan perumahan. Dalam pasal tersebut, Otorita IKN punya kekhususan, yakni pengecualian dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Pasal itu memberi peluang bagi pelaku usaha yang sebelumnya sudah membangun hunian elite di luar IKN bisa memenuhi kewajiban hunian berimbangnya di kawasan IKN.
”Intinya, agar pemenuhan kewajiban hunian berimbang oleh pengembang perumahan di luar IKN bisa melakukan pemenuhan itu di dalam IKN dalam periode waktu tertentu dan dalam bentuk yang ditentukan oleh Otorita IKN. Tentu saja tetap memperhatikan rencana detail tata ruang (RDTR),” kata Silvia.
Baca juga: Selesaikan Tumpang Tindih Lahan Sebelum Pemindahan Ibu Kota Negara
Suasana pembangunan di salah satu sudut kompleks Istana Presiden di Ibu Kota Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (3/8/2023).
Selain itu, untuk menjamin keluwesan Otorita IKN dalam menjalankan tugasnya, sejumlah pasal mengenai pengelolaan anggaran yang bersifat khusus juga perlu diperjelas. Ini dilakukan untuk menjelaskan perbedaan mekanisme pengelolaan keuangan/anggaran Otorita IKN pada masa transisi dan saat menjadi pemerintah daerah khusus (pemdasus).
Jika pada masa transisi Otorita IKN hanya sebagai pengguna anggaran, dengan penambahan pasal baru, Otorita IKN bisa menjadi pengelola anggaran. Hal itu akan dituangkan dalam Pasal 23 Huruf b yang berbunyi ”Otorita IKN sebagai Pemdasus memiliki kedudukan sebagai pengelola keuangan Pemdasus (pengelola anggaran/barang Anggaran Pendapatan dan Belanja IKN)”.
”Hal ini bertujuan agar Otorita IKN dapat membiayai kegiatan persiapan, pembangunan, pemindahan, dan penyelenggaraan pemerintahan secara mandiri selain yang bersumber dari APBN dengan tetap memperhatikan ketentuan yang ada,” Direktur Hukum Otorita IKN Agung Purnomo.
Beberapa poin tersebut merupakan bagian dari sembilan substansi yang perlu diperjelas sehingga UU IKN dinilai perlu direvisi. Hal itu antara lain terkait luas dan batas wilayah, tata ruang, pertanahan, dan pengelolaan keuangan.
Substansi lain yang diperjelas adalah terkait barang milik negara, barang milik otorita, dan pembiayaan; pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama non-PNS di Otorita IKN; penyelenggaraan perumahan; jaminan keberlanjutan IKN; serta pemantauan dan peninjauan.